Minggu, 14 Januari 2024
Beriman kepada Malaikat
Definisi dan hakikat malaikat
Malaikatun (ملائكة) adalah bentuk jamak dari malakun مَلَكٌ. Asli kata مَلَكٌ dari kata isim maf’ul مَأْلَكٌ ma’lakun, kemudian dihapuslah hamzah karena banyak digunakan dalam bahasa Arab sehingga jadi مَلَكٌ yang artinya “yang diutus”. مَلَكٌ berasal dari akar kata kerja (fiil) أَلَكَ – يَأْلُكُ – أَلُوْكَةً yang artinya “mengutus utusan yang khusus”. Maka, arti malaikat dalam bahasa adalah para utusan Allah yang diutus dengan tugas yang khusus dan agung. Adapun definisi secara istilah syariat, malaikat dapat didefinisikan sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Ustaimin rahimahullah,
الملاَئِكةُ : عالمٌ غَيْبيٌّ، مخلوقونَ، عَابِدون للهِ تعالى، وليس لهم من خَصائصِ الرُّبُوبية والأُلوهِيَّة، خَلَقَهم الله تعالى منْ نُوْرٍ، ومَنَحَهم الإنْقيادَ التّامّ لِأمره، والقوّةُ على تنْفيذِه.
“Malaikat adalah makhluk gaib yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Mereka adalah makhluk yang senantiasa beribadah kepada Allah. Namun, malaikat tidak memiliki satu pun sifat-sifat khusus sebagai Tuhan maupun sebagai zat yang berhak disembah. Allah menciptakan mereka dari cahaya dan memberi kemampuan istimewa berupa ketundukan yang sempurna terhadap perintah Allah dan kekuatan untuk melaksanakannya.” (Nubdzah Fi Al-Aqidah Al-Islamiyah, hal. 31)
Al-Hafiz Al-Hakami rahimahullah juga mendefinisikan tentang malaikat sebagai berikut,
والحَقُّ أنّ الملائِكةَ -عليهم السلام- ذَواتٌ قَائمِة بِأنفسها، قادرَةٌ على التشكّل بالقدرَةِ الإلهية، كما ثبتَ في الأحاديثِ الصحيحةِ عن النبيِ صلى الله عليه وسلم.
“Yang benar (definisi malaikat), malaikat ‘alaihimussalam adalah zat-zat yang memiliki jiwa, yang memiliki kemampuan untuk mengubah bentuk dengan izin dari Allah Ta’ala sebagaimana yang dikabarkan dari berbagai hadis yang sahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lawami’u Al-Anwar, 2: 411)
Kedudukan keimanan kepada malaikat
Iman kepada malaikat ini merupakan salah satu bagian dari rukun iman. Keimanan kepada malaikat merupakan kewajiban yang ditegaskan dan ditetapkan dalam berbagai dalil, baik dari Al-Qur’an, hadis, dan ijma‘ kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…” (QS. Al-Baqarah: 177)
Selain itu, Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat yang lain,
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَاۤ أُنزِلَ إِلَیۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰۤىِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ أَحَدࣲ مِّن رُّسُلِهِۦۚ وَقَالُوا۟ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَیۡكَ ٱلۡمَصِیرُ
“Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka berkata, ‘Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.’ ” (QS. Al-Baqarah: 285)
Begitu juga dalam hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
الإيمانُ أنْ تُؤْمِنَ باللهِ ومَلائكَتِه، وكُتُبِه، ورُسُلِه، واليومِ الآخِرِ، والقَدَرِ خيرِه وشَرِّه
“Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, dan beriman terhadap takdir, yang baik maupun buruk.” (HR. Muslim)
Kadar minimal beriman kepada malaikat
Beriman kepada malaikat tidak hanya pada satu derajat saja, melainkan ada dua derajat, yaitu: 1) derajat yang bersifat mujmal (umum) yang merupakan kewajiban yang harus diimani bagi seluruh mukallaf (balig dan berakal); dan 2) ada pula yang lebih tinggi, yaitu derajat yang bersifat tafshili (terperinci).
Derajat yang pertama adalah derajat yang bersifat mujmal, yaitu yang wajib ada paling minimal pada keyakinan setiap dari hamba yang mukallaf terhadap malaikat. Derajat ini mengandung hal yang wajib diketahui dan diyakini yaitu:
Pertama: Beriman bahwa malaikat merupakan makhluk ciptaan Allah.
Kedua: Beriman bahwasanya ada di antara mereka diutus oleh Allah untuk turun membawa wahyu dari Allah kepada para nabi. (Syarah Tsalastatul Ushul Li Al-Ushaimi, hal. 55)
Hal yang sama juga disampaikan oleh Syekh Shalih Alu Syaikh saat menjelaskan rukun iman yang kedua. Beliau berkata,
“Barangsiapa yang meyakini bahwa malaikat ini adalah makhluk Allah yang benar adanya dan ia mengimaninya, serta ia meyakini juga ada di antara mereka yang menjadi utusan menurunkan wahyu kepada para rasul, kemudian dengan perantara mereka risalah-risalah Allah tersampaikan, maka ia telah melaksanakan rukun iman yang kedua ini. Adapun yang lebih tinggi dari pada kadar tersebut, maka itu adalah derajat iman tafshili (terperinci) yang artinya manusia akan berbeda-beda tingkatan keimanannya sesuai dengan pengetahuannya.” (Syarah Tsalastatul Ushul, hal. 158)
Sementara itu, dari kalangan ulama terdahulu, sebagaimana yang disampaikan oleh As-Suyuthi dalam Kitab Al-Habaik Fi Akhbari Al-Malaikah menukil dari Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman beliau menyebutkan bahwasanya iman kepada malaikat mencakup tiga perkara, yaitu:
Pertama: Beriman terhadap adanya malaikat.
Kedua: Beriman bahwasanya mereka adalah makhluk ciptaan Allah dan hamba-Nya.
Ketiga: Beriman bahwasanya ada di antara malaikat yang menjadi utusan (rasul) yang Allah Ta’ala utus kepada siapa saja manusia yang dikehendaki-Nya, dan boleh jadi Allah mengutus di antara mereka menjadi rasul kepada malaikat yang lain. Selain keimanan tersebut, diikutkan juga keimanan bahwasanya di antara mereka ada malaikat yang memikul ‘Arsy, malaikat yang berbaris-baris, malaikat penjaga surga, malaikat penjaga neraka, malaikat pencatat amal, dan malaikat yang menurunkan hujan. Semua malaikat tersebut disebutkan dalam Al-Qur’an, bahkan lebih dari itu. (Al-Habaik Fi Akhbari Al-Malaikah, hal. 9-10)
Ada pula di antara para ulama lainnya yang mengatakan iman secara mujmal hanya mencakup pada keimanan bahwa malaikat itu benar adanya dan merupakan makhluk ciptaan Allah Ta’ala.
Barangsiapa tidak tahu sama sekali bahwa di alam semesta ini ada malaikat, maka keimanannya tidak sah, selama ketidaktahuannya memang tidak diberi uzur sama sekali oleh syariat semisal (uzur yang ditoleransi) ia baru saja masuk Islam, atau ia jauh dari lingkungan kaum muslimin dan para ulama. Adapun orang yang memang tidak beriman atau mengingkari keimanan kepada malaikat, maka sangat jelaslah status kekufurannya dan ia bukan seorang muslim.
Adapun derajat yang kedua, yaitu derajat iman kepada malaikat yang bersifat tafshili, maka ia mencakup iman secara mujmal dan ada beberapa tambahan, yaitu:
Pertama: Beriman bahwa malaikat itu ada dan merupakan makhluk ciptaan Allah.
Kedua: Beriman terhadap nama-nama malaikat yang kita ketahui dan datang berbagai dalil yang menetapkannya.
Ketiga: Beriman terhadap sifat-sifat malaikat yang kita ketahui dari berbagai dalil yang menetapkannya.
Keempat: Beriman terhadap tugas-tugas dari para malaikat yang kita ketahui berdasarkan berbagai dalil yang menjelaskannya. (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Li Ibni Utsaimin – Tafsir Surah Al-Baqarah, 2: 284, Syarah Tsalastatul Ushul Li Abdullah Al-Fauzan, hal. 143-145)
Keimanan derajat tafshili ini berdasarkan apa-apa yang telah dipelajari atau diketahui oleh seorang muslim. Apabila telah datang kabar dari Al-Qur’an maupun hadis yang menjelaskan hal-hal terkait malaikat, mulai dari nama, tugas-tugas, dan sifat-sifat mereka, maka wajib untuk diimani tanpa keraguan. Maka, pengetahuan seseorang terkait iman kepada malaikat secara tafshili ini dapat bertingkat-tingkat tergantung sejauh mana ia mengetahui dan mempelajarinya. Adapun bagi orang yang tidak mengetahuinya, maka ia tetap sah imannya selama keimanan yang bersifat mujmal terhadap malaikat terpenuhi. Maka dari itu, para ulama menjelaskan belajar tentang keimanan kepada malaikat pada derajat tafshili (terperinci) ini hukumnya wajib kifayah bukan wajib ‘ain yang harus dipelajari oleh setiap muslim yang sudah balig dan berakal. Namun, kembali lagi barangsiapa yang mendapat pengetahuan dan informasi yang sahih (benar) terkait kabar tentang malaikat dari nama-nama malaikat, sifat-sifat, dan tugas-tugas mereka, maka wajib diimani. Barangsiapa yang tidak mengimani atau mendustakannya, maka akan terjatuh kepada kekufuran akbar yang mengeluarkannya dari Islam.
Beriman Kepada qodho dan qodar
Apa itu Qada dan Qadar Beriman kepada qada dan qadar memiliki arti, Qada ketetapan Allah SWT yang sudah tertulis di Lauh al Mahfuz sejak jaman azali. Qadar atau takdir berarti ketetapan yang telah terjadi seperti kepastian, ukuran kepuasan, dan perwujudan kehendak. Qadar merupakan takaran ketetapan yang dapat diubah oleh semua makhluk, seperti pintar dan tidak pintar bagaimana orang tersebut ingin belajar bersungguh-sungguh sampai pintar atau bermalas-malasan.
Qada ketetapan dari Allah SWT yang memiliki sifat maha kuasa atas segala ciptaan-Nya, takdir baik maupun buruk. Seperti terlahir sebagai pria merupakan qada, ketetapan yang mutlak sudah diberikan oleh Allah SWT. Beriman kepada qada dan qadar merupakan kepercayaan terhadap ketetapan Allah SWT sebelum dunia ini terbentuk. Rencana dan takdir yang dibuat-Nya sebagai muslim harus percaya atas kehendaknya, karena Allah SWT memberikan cobaan kepada hambanya bukan ke orang-orang yang lemah, melainkan kepada orang-orang yang senantiasa berikhtiar.Dalam surat At-Taubah 9:15, terdapat dalil untuk beriman kepada qada dan qadar: قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَىٰنَا ۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ Artinya: Katakanlah, 'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.' Dalam surat An-Nahl 6:61 juga menerangkan untuk beriman kepada qada dan qadar ini: ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَـْٔخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Minggu, 12 Agustus 2018
Terapi Al-Quran Untuk Penyembuhan Berbagai Macam Penyakit
Merupakan tulisan dari guru kami Ustadz H. Riyadh Rosyadi, semoga menjadi amal kebaikan bagi beliau dan semoga bermanfaat bagi yang membaca dan berguna bagi yang mengamalkan.
Diantara cara yang ditempuh oleh manusia untuk memperoleh jaminan dan dukungan itu adalah dengan mengandalkan ‘jalan gaib’ baik dalam bentuk sesuatu yang dibaca (kan), dituliskan (kan), berupa benda yang dibawa/dipakai/disimpan, laku ritual tertentu, yang dimakan/diminum, olah nafas/gerak tertentu dsb. Semua itu terkait erat dengan bentuk-bentuk pengembangan berikutnya dari aktivitas yang berhubungan dengan RUQYAH.
Dari sahabat ‘Auf bin Malik ra dia berkata : Kami dahulu meruqyah di masa Jahiliyyah, maka kami bertanya : “Ya RosuluLLah, bagaimana menurut pendapatmu ?” Beliau menjawab : “Tunjukkan padaku Ruqyah (mantera) kalian itu. Tidak mengapa mantera itu selama tidak mengandung kesyirikan” (HR. Muslim).
Meruqyah dengan cara yang sesuai dengan kaidah syari’at الرُّقْيَةُ الشَّرْعِِيَّة)) tidak hanya dikhususkan terhadap permasalahan yang berhubungan dengan Jin atau Sihir saja. Terbukti dari beberapa do’a Ruqyah yang diajarkan Nabi saw banyak yang berhubungan dengan penyakit-penyakit pada umumnya termasuk luka-luka, ‘keracunan’ dsb. ALLAH swt menurunkan Al-Quran yang diantara fungsinya adalah sebagai SYIFAA’ (obat/penyembuh) terhadap penyakit serta gangguan secara umum.
Meruqyah juga tidak dikhususkan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Bagaimanapun juga Ruqyah adalah salah satu warisan RosuluLLah SAW kepada semua umatnya sebagaimana ajaran-ajaran beliau yang lain.
Selama syarat--syarat sebagai muslim yang ‘baik’ secara minimal dapat kita penuhi, insya ALLAH kita semua dapat meruqyah. Syarat-syarat (minimal) tersebut adalah Bersih Aqidah kita dan Benar Ibadah kita sesuai yang diajarkan oleh RasuluLLah saw, disamping perbaikan yang terus-menerus terhadap pemahaman serta akhlak ke-Islam-an kita.
Semoga semakin banyaklah kaum muslimin yang bisa melakukan peruqyahan syar’iyyah, paling tidak untuk diri sendiri dan keluarganya. Dengan demikian semakin banyak pula masyarakat kita yang terselamatkan dan mau meninggalkan ruqyah-ruqyah syirkiyyah (terapi yang mengandung kesyirikan) dengan beralih kepada Ruqyah Syar’iyyah – Da’awiyyah. Dan semoga kita dapat merasakan hidup berkah yang sebenarnya setelah terlepas dari berbagai kekeliruan. Amin.
WaLLahu a’lam bis Showwab.
pendefinisian RUQYAH
- عن جابر رضي الله عنه قال : نهي رسول الله صلى لله عليه و سلَم عن الرُّقي (رواه مسلم)
- عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى لله عليه و سلَم : إنّ الرقى و التِّوالة شِرْكٌ (رواه حاكم و صححه – المستدرك، كتاب الطب)
- عن ابن عباس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى لله عليه و سلَم : " يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ ، قَالُوا وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هُمُ الَّذِينَ لا يَكْتَوُونَ وَلا يَسْتَرْقُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (رواه الشيخان)
- أن تكون بكلام الله أو بأسمآئه و صفاته (والأدعية النبويّة).
- أن تكون باللسان العربي، أو يعرف معناه من غيره.
- أن يعتقد أن الرقية لا تؤثر بذاتها بل بذات الله تعالى.