Minggu, 14 Januari 2024

Malaikat turun di Bumi Palestina


 

Beriman kepada Malaikat

 

Definisi dan hakikat malaikat

Malaikatun (ملائكة) adalah bentuk jamak dari malakun مَلَكٌ. Asli kata مَلَكٌ dari kata isim maf’ul مَأْلَكٌ ma’lakun, kemudian dihapuslah hamzah karena banyak digunakan dalam bahasa Arab sehingga jadi مَلَكٌ yang artinya “yang diutus”. مَلَكٌ berasal dari akar kata kerja (fiil) أَلَكَ – يَأْلُكُ – أَلُوْكَةً yang artinya “mengutus utusan yang khusus”. Maka, arti malaikat dalam bahasa adalah para utusan Allah yang diutus dengan tugas yang khusus dan agung. Adapun definisi secara istilah syariat, malaikat dapat didefinisikan sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Ustaimin rahimahullah,

الملاَئِكةُ : عالمٌ غَيْبيٌّ، مخلوقونَ، عَابِدون للهِ تعالى، وليس لهم من خَصائصِ الرُّبُوبية والأُلوهِيَّة، خَلَقَهم الله تعالى منْ نُوْرٍ، ومَنَحَهم الإنْقيادَ التّامّ لِأمره، والقوّةُ على تنْفيذِه.

Malaikat adalah makhluk gaib yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Mereka adalah makhluk yang senantiasa beribadah kepada Allah. Namun, malaikat tidak memiliki satu pun sifat-sifat khusus sebagai Tuhan maupun sebagai zat yang berhak disembah. Allah menciptakan mereka dari cahaya dan memberi kemampuan istimewa berupa ketundukan yang sempurna terhadap perintah Allah dan kekuatan untuk melaksanakannya.” (Nubdzah Fi Al-Aqidah Al-Islamiyah, hal. 31)

Al-Hafiz Al-Hakami rahimahullah juga mendefinisikan tentang malaikat sebagai berikut,

والحَقُّ أنّ الملائِكةَ -عليهم السلام- ذَواتٌ قَائمِة بِأنفسها، قادرَةٌ على التشكّل بالقدرَةِ الإلهية، كما ثبتَ في الأحاديثِ الصحيحةِ عن النبيِ صلى الله عليه وسلم.

Yang benar (definisi malaikat), malaikat ‘alaihimussalam adalah zat-zat yang memiliki jiwa, yang memiliki kemampuan untuk mengubah bentuk dengan izin dari Allah Ta’ala sebagaimana yang dikabarkan dari berbagai hadis yang sahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lawami’u Al-Anwar, 2: 411)

Kedudukan keimanan kepada malaikat

Iman kepada malaikat ini merupakan salah satu bagian dari rukun iman. Keimanan kepada malaikat merupakan kewajiban yang ditegaskan dan ditetapkan dalam berbagai dalil, baik dari Al-Qur’an, hadis, dan ijma‘ kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…” (QS. Al-Baqarah: 177)

Selain itu, Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat yang lain,

ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَاۤ أُنزِلَ إِلَیۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰۤىِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ أَحَدࣲ مِّن رُّسُلِهِۦۚ وَقَالُوا۟ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَیۡكَ ٱلۡمَصِیرُ

Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka berkata, ‘Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.’ ” (QS. Al-Baqarah: 285)

Begitu juga dalam hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

الإيمانُ أنْ تُؤْمِنَ باللهِ ومَلائكَتِه، وكُتُبِه، ورُسُلِه، واليومِ الآخِرِ، والقَدَرِ خيرِه وشَرِّه

Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, dan beriman terhadap takdir, yang baik maupun buruk.” (HR. Muslim)

Kadar minimal beriman kepada malaikat

Beriman kepada malaikat tidak hanya pada satu derajat saja, melainkan ada dua derajat, yaitu: 1) derajat yang bersifat mujmal (umum) yang merupakan kewajiban yang harus diimani bagi seluruh mukallaf (balig dan berakal); dan 2) ada pula yang lebih tinggi, yaitu derajat yang bersifat tafshili (terperinci).

Derajat yang pertama adalah derajat yang bersifat mujmal, yaitu yang wajib ada paling minimal pada keyakinan setiap dari hamba yang mukallaf terhadap malaikat. Derajat ini mengandung hal yang wajib diketahui dan diyakini yaitu:

Pertama: Beriman bahwa malaikat merupakan makhluk ciptaan Allah.

Kedua: Beriman bahwasanya ada di antara mereka diutus oleh Allah untuk turun membawa wahyu dari Allah kepada para nabi. (Syarah Tsalastatul Ushul Li Al-Ushaimi, hal. 55)

Hal yang sama juga disampaikan oleh Syekh Shalih Alu Syaikh saat menjelaskan rukun iman yang kedua. Beliau berkata,

“Barangsiapa yang meyakini bahwa malaikat ini adalah makhluk Allah yang benar adanya dan ia mengimaninya, serta ia meyakini juga ada di antara mereka yang menjadi utusan menurunkan wahyu kepada para rasul, kemudian dengan perantara mereka risalah-risalah Allah tersampaikan, maka ia telah melaksanakan rukun iman yang kedua ini. Adapun yang lebih tinggi dari pada kadar tersebut, maka itu adalah derajat iman tafshili (terperinci) yang artinya manusia akan berbeda-beda tingkatan keimanannya sesuai dengan pengetahuannya.” (Syarah Tsalastatul Ushul, hal. 158)

Sementara itu, dari kalangan ulama terdahulu, sebagaimana yang disampaikan oleh As-Suyuthi dalam Kitab Al-Habaik Fi Akhbari Al-Malaikah menukil dari Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman beliau menyebutkan bahwasanya iman kepada malaikat mencakup tiga perkara, yaitu:

Pertama: Beriman terhadap adanya malaikat.

Kedua: Beriman bahwasanya mereka adalah makhluk ciptaan Allah dan hamba-Nya.

Ketiga: Beriman bahwasanya ada di antara malaikat yang menjadi utusan (rasul) yang Allah Ta’ala utus kepada siapa saja manusia yang dikehendaki-Nya, dan boleh jadi Allah mengutus di antara mereka menjadi rasul kepada malaikat yang lain. Selain keimanan tersebut, diikutkan juga keimanan bahwasanya di antara mereka ada malaikat yang memikul ‘Arsy, malaikat yang berbaris-baris, malaikat penjaga surga, malaikat penjaga neraka, malaikat pencatat amal, dan malaikat yang menurunkan hujan. Semua malaikat tersebut disebutkan dalam Al-Qur’an, bahkan lebih dari itu. (Al-Habaik Fi Akhbari Al-Malaikah, hal. 9-10)

Ada pula di antara para ulama lainnya yang mengatakan iman secara mujmal hanya mencakup pada keimanan bahwa malaikat itu benar adanya dan merupakan makhluk ciptaan Allah Ta’ala.

Barangsiapa tidak tahu sama sekali bahwa di alam semesta ini ada malaikat, maka keimanannya tidak sah, selama ketidaktahuannya memang tidak diberi uzur sama sekali oleh syariat semisal (uzur yang ditoleransi) ia baru saja masuk Islam, atau ia jauh dari lingkungan kaum muslimin dan para ulama. Adapun orang yang memang tidak beriman atau mengingkari keimanan kepada malaikat, maka sangat jelaslah status kekufurannya dan ia bukan seorang muslim.

Adapun derajat yang kedua, yaitu derajat iman kepada malaikat yang bersifat tafshili, maka ia mencakup iman secara mujmal dan ada beberapa tambahan, yaitu:

Pertama: Beriman bahwa malaikat itu ada dan merupakan makhluk ciptaan Allah.

Kedua: Beriman terhadap nama-nama malaikat yang kita ketahui dan datang berbagai dalil yang menetapkannya.

Ketiga: Beriman terhadap sifat-sifat malaikat yang kita ketahui dari berbagai dalil yang menetapkannya.

Keempat: Beriman terhadap tugas-tugas dari para malaikat yang kita ketahui berdasarkan berbagai dalil yang menjelaskannya. (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Li Ibni Utsaimin – Tafsir Surah Al-Baqarah, 2: 284, Syarah Tsalastatul Ushul Li Abdullah Al-Fauzan, hal. 143-145)

Keimanan derajat tafshili ini berdasarkan apa-apa yang telah dipelajari atau diketahui oleh seorang muslim. Apabila telah datang kabar dari Al-Qur’an maupun hadis yang menjelaskan hal-hal terkait malaikat, mulai dari nama, tugas-tugas, dan sifat-sifat mereka, maka wajib untuk diimani tanpa keraguan. Maka, pengetahuan seseorang terkait iman kepada malaikat secara tafshili ini dapat bertingkat-tingkat tergantung sejauh mana ia mengetahui dan mempelajarinya. Adapun bagi orang yang tidak mengetahuinya, maka ia tetap sah imannya selama keimanan yang bersifat mujmal terhadap malaikat terpenuhi. Maka dari itu, para ulama menjelaskan belajar tentang keimanan kepada malaikat pada derajat tafshili (terperinci) ini hukumnya wajib kifayah bukan wajib ‘ain yang harus dipelajari oleh setiap muslim yang sudah balig dan berakal. Namun, kembali lagi barangsiapa yang mendapat pengetahuan dan informasi yang sahih (benar) terkait kabar tentang malaikat dari nama-nama malaikat, sifat-sifat, dan tugas-tugas mereka, maka wajib diimani. Barangsiapa yang tidak mengimani atau mendustakannya, maka akan terjatuh kepada kekufuran akbar yang mengeluarkannya dari Islam.



Beriman Kepada qodho dan qodar

Apa itu Qada dan Qadar Beriman kepada qada dan qadar memiliki arti, Qada ketetapan Allah SWT yang sudah tertulis di Lauh al Mahfuz sejak jaman azali. Qadar atau takdir berarti ketetapan yang telah terjadi seperti kepastian, ukuran kepuasan, dan perwujudan kehendak. Qadar merupakan takaran ketetapan yang dapat diubah oleh semua makhluk, seperti pintar dan tidak pintar bagaimana orang tersebut ingin belajar bersungguh-sungguh sampai pintar atau bermalas-malasan.

Qada ketetapan dari Allah SWT yang memiliki sifat maha kuasa atas segala ciptaan-Nya, takdir baik maupun buruk. Seperti terlahir sebagai pria merupakan qada, ketetapan yang mutlak sudah diberikan oleh Allah SWT. Beriman kepada qada dan qadar merupakan kepercayaan terhadap ketetapan Allah SWT sebelum dunia ini terbentuk. Rencana dan takdir yang dibuat-Nya sebagai muslim harus percaya atas kehendaknya, karena Allah SWT memberikan cobaan kepada hambanya bukan ke orang-orang yang lemah, melainkan kepada orang-orang yang senantiasa berikhtiar.

Dalam surat At-Taubah 9:15, terdapat dalil untuk beriman kepada qada dan qadar: قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَىٰنَا ۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ Artinya: Katakanlah, 'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.' Dalam surat An-Nahl 6:61 juga menerangkan untuk beriman kepada qada dan qadar ini: ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَـْٔخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ


Minggu, 12 Agustus 2018

Terapi Al-Quran Untuk Penyembuhan Berbagai Macam Penyakit

Terapi Al-Quran Untuk Penyembuhan Berbagai Macam Penyakit



Manusia dalam mempertahankan hidupnya (survive) atau dalam persaingannya membutuhkan jaminan dan dukungan keamanan, kekuatan, perlindungan, jaminan rejeki (baca : ekonomi), kesehatan, kepandaian, kewibawaan/daya pengaruh dsb. Segala cara dan upaya dilakukan untuk memperoleh hal itu. Terlebih jika sedang membutuhkan solusi ‘mendesak’, maka apapun dapat dilakukannya demi mempertahankan dan memenangkan persaingannya tersebut.

Diantara cara yang ditempuh oleh manusia untuk memperoleh jaminan dan dukungan itu adalah dengan mengandalkan ‘jalan gaib’ baik dalam bentuk sesuatu yang dibaca (kan), dituliskan (kan), berupa benda yang dibawa/dipakai/disimpan, laku ritual tertentu, yang dimakan/diminum, olah nafas/gerak tertentu dsb. Semua itu terkait erat dengan bentuk-bentuk pengembangan berikutnya dari aktivitas yang berhubungan dengan RUQYAH.

Ruqyah atau mantera (jawa : suwuk, jopa-japu) sudah ada sejak sebelum RosuluLLah saw diutus. Keberadaannya dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Hanya saja Islam melarang setiap hal yang mendatangkan kerugian dan kesesatan, sekalipun hal itu ‘dibutuhkan’. Islam menggantikan setiap kebutuhan yang dilarang itu dengan sesuatu yang halal yang lebih baik dan menjamin kebahagiaan hidup selamanya. Mantera-mantera (Ruqyah) untuk perlindungan atau penyembuhan – baik yang jelas ke-syirik-annya maupun yang samar-samar – adalah suatu yang dilarang, sekalipun ‘seolah-olah’ mendatangkan hasil.  Dalam sebuah riwayat shohih diberitakan,

عَنْ عَوْفٍ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قـال : كُنَّا نَرْقِي فِى الْجَـاهِلِيَّةِ، فَقُلْنـَا يـَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى بِذلِكَ ؟  فَقَالَ : أَعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَـأْسَ بِالرُّقْيَةِ مَالَمْ تَكُنْ شِرْكـاً (رواه مسلم)

Dari sahabat ‘Auf bin Malik ra dia berkata : Kami dahulu meruqyah di masa Jahiliyyah, maka kami bertanya : “Ya RosuluLLah, bagaimana menurut pendapatmu ?” Beliau menjawab : “Tunjukkan padaku Ruqyah (mantera) kalian itu. Tidak mengapa mantera itu selama tidak mengandung kesyirikan” (HR. Muslim).


Meruqyah dengan cara yang sesuai dengan kaidah syari’at الرُّقْيَةُ الشَّرْعِِيَّة)tidak hanya dikhususkan terhadap permasalahan yang berhubungan dengan Jin atau Sihir saja. Terbukti dari beberapa do’a Ruqyah yang diajarkan Nabi saw banyak yang berhubungan dengan penyakit-penyakit pada umumnya termasuk luka-luka, ‘keracunan’ dsb. ALLAH swt menurunkan Al-Quran yang diantara fungsinya adalah sebagai SYIFAA’ (obat/penyembuh) terhadap penyakit serta gangguan secara umum.

Praktek ruqyah dapat dilakukan baik secara individul atau secara massal yang disetarakan dengan pengobatan massal. Beberapa ulama dalam kitab-kitab hadits mereka (seperti Imam Al-Bukhori, At Tirmidzi dan Abu Dawud) memberi penjelasan tentang Ruqyah dalam Bab At Thibb (Pengobatan). Dalam praktek Ruqyah Syar’iyyah (individual atau secara massal) inilah nilai-nilai dakwah dengan menanamkan kebersihan Aqidah, kekebenaran beribadah dan akhlaq karimah  secara hikmah dapat kita sampaikan dan mau’izhoh hasanah secara efektif bisa kita ungkapkanالرُّقْيَةُ الدَّعَوِيَّة) )

Meruqyah juga tidak dikhususkan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Bagaimanapun juga Ruqyah adalah salah satu warisan RosuluLLah SAW kepada semua umatnya sebagaimana ajaran-ajaran beliau yang lain. 

Selama syarat--syarat sebagai muslim yang ‘baik’ secara minimal dapat kita penuhi, insya ALLAH kita semua dapat meruqyah. Syarat-syarat (minimal) tersebut adalah Bersih Aqidah kita dan Benar Ibadah kita sesuai yang diajarkan oleh RasuluLLah saw, disamping perbaikan yang terus-menerus terhadap pemahaman serta akhlak ke-Islam-an kita.

Semoga semakin banyaklah kaum muslimin yang bisa melakukan peruqyahan syar’iyyah, paling tidak untuk diri sendiri dan keluarganya. Dengan demikian semakin banyak pula masyarakat kita yang terselamatkan dan mau meninggalkan ruqyah-ruqyah syirkiyyah (terapi yang mengandung kesyirikan) dengan beralih kepada Ruqyah Syar’iyyah – Da’awiyyah. Dan semoga kita dapat merasakan hidup berkah yang sebenarnya setelah terlepas dari berbagai kekeliruan. Amin.

WaLLahu a’lam bis Showwab.

pendefinisian RUQYAH

التَّفْهِيْمُ عَنِ الرُّقْيَةِ
Beberapa penjelasan tambahan dalam pendefinisian RUQYAH
Ø  Arti :
1.     Bahasa.
AR-RUQYAH (الرُّقْيَةُ) bentuk jamaknya AR-RUQO (الرُّقَي) artinya Jampi, Mantera, Suwuk, Rapal.
2.     Istilah.
Segala ungkapan yang digunakan sebagai mantera untuk kesembuhan, perlindungan/penjagaan, penguatan, kelancaran, kemudahan, dst.
Ø  Jenis :
1.     Ruqyah Syirkiyyah/Jahiliyyah الرُّقْيَةُ الشِّرْكِيَّةُ  : Ruqyah/mantera yang keseluruhan atau sebagiannya mengandung kesyirikan/kejahiliyahan atau tidak sesuai dengan syari’at Islam.
2.     Ruqyah Syar’iyyah  الرُّقْيَةُ الشَّرْعِيَّةُ  : Ruqyah/mantera yang diperbolehkan dan sesuai dengan kaidah syari’at Islam.
عَنْ عَوْفٍ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قـال : كُنَّا نَرْقِي فِى الْجَـاهِلِيَّةِ، فَقُلْنـَا يـَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى بِذلِكَ ؟  فَقَالَ : أَعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَـأْسَ بِالرُّقَى مَالَمْ يَكُنْ شِرْكـاً (رواه مسلم)
Dari sahabat ‘Auf bin Malik ra dia berkata : Kami dahulu meruqyah di masa Jahiliyyah, maka kami bertanya : “Ya RosuluLLah, bagaimana menurut pendapatmu ?” Beliau menjawab : “Tunjukkan padaku Ruqyah (mantera) kalian itu. Tidak mengapa mantera itu selama tidak mengandung kesyirikan” (HR. Muslim).
3.     Ruqyah Da’awiyyah  الرُّقْيَةُ الدَّعَوِيَّة : Ruqyah/mantera Syar’iyyah yang pelaksanaannya lebih mengutamakan aspek2 dan kaidah2 serta target2 da’wah disamping berfungsi sebagai terapi itu sendiri.
Diantara definisi Ruqyah (Syar’iyyah) dari segi keilmuan :
هى علم من أجل العلوم وهى يدخل فيها كل ماهو من القرآن الكريم  ومن السنة النبوية المطهرة
وهو ان الراقى يستخدم آيات الله ويؤمن ويوقن به ايقان شديد فى تاثيرها فى المريض
Ruqyah merupakan  suatu ilmu dari bagian ilmu-ilmu yang di dalamnya mengandung segala hal yang berasal dari Al-Quran yang Mulia dan Sunnah Nabawiyah yang Suci.
Dan bahwa orang yang meruqyah (الراقى) menggunakan ayat-ayat ALLAH swt (dan do’a-do’a Nabi) dengan penuh keimanan dan keyakinan yang sangat kuat (bahwa dengan izin ALLAH ayat dan do’a itu) memberi dampak kebaikan kepada orang yang sakit (penderita).
والرقية تعالج كل الامراض الروحية من سحر ومس وحسد وسواس نفسى وغيرها وتعالج العديد من الامراض العضوية وتزيل الامراض الخبيثة مثل السرطانات وفيروس الكبدى وغيرها .
Ruqyah meng-ilaj penyakit-penyakit Ruhiyyah (sihir, kesurupan, hasad, was-was dsb) selain itu pula meng-ilaj beberapa penyakit ‘udhwiyyah (fisik) serta menghilangkan penyakit buruk lainnya seperti kanker, virus lever (hepatitis) dsb
Ø  Perbedaan cara pandang terhadap hadits-hadits yang terkait dengan Ruqyah.
1.     Yang cenderung melarang atau menghindar dari Ruqyah diantaranya bersandar kepada beberapa hadits berikut (dan sejenisnya) :
أحاديث النهي عن الرقي :
  1. عن جابر رضي الله عنه قال : نهي رسول الله صلى لله عليه و سلَم عن الرُّقي  (رواه مسلم)
“Dari sahabat Jabir r.a berkata : RasuluLlah saw telah melarang Ruqyah” (HR. Muslim)
  1. عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى لله عليه و سلَم : إنّ الرقى و التِّوالة شِرْكٌ  (رواه حاكم و صححه – المستدرك، كتاب الطب)
“Dari Ibn Mas’ud r.a berkata : Bersabda RasuluLLah saw : Sesungguhnya Ruqyah dan Tiwalah (sejenis ‘pelet’) adalah perbuatan Syirik” (HR. Hakim)
  1. عن ابن عباس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى لله عليه و سلَم : " يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ ، قَالُوا وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هُمُ الَّذِينَ لا يَكْتَوُونَ وَلا يَسْتَرْقُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (رواه الشيخان)
و في رواية عند مسلم : هُمُ الَّذِينَ لا يرقون وَلا يَسْتَرْقُونَ  ولا يتطيّرون ولا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Dari Ibn Abbas ra, dia berkata: Telah bersabda RasuluLLah saw : Akan masuk surga tanpa hisab dari umatku sebanyak 70 ribu orang. Para sahabat bertanya, siapakah mereka itu ya RasuluLLah ? Beliau bersabda : mereka itu adalah orang-orang yang tidak minta di-kay dan tidak minta diruqyah dan mereka bertawakkal kepada Robb mereka. (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam riwayat Imam Muslim : “mereka itu yang tidak meruqyah dan tidak minta diruqyah tidak tathoyyur, tidak minta di-kay dan mereka bertawakkal kepada Robb mereka”.
2.     Yang menganggap Ruqyah sebagai contoh yang dilakukan oleh Nabi saw dan para sahabatnya :
أحاديث ترخّص بالرقية و تأمر بها :
1.          عن عائشة رضي الله عنها قالت : أمرني رسول الله صلى لله عليه و سلَم أن أسترقي من العين (متفق عليه)
Dari  A’isyah ra dia berkata : RasuluLLah saw telah memerintahkan kami agar meruqyah orang yang terkena gangguan ‘ain (HR. Muttafaun ‘alaih)
2.          عن أمّ سلمة رضي الله عنها أن النبي صلى لله عليه و سلَم  رأى فى بيتها جارية و فى وجهها سَفْعَةً ، فقال : إسترقوا لها، فإن بها النظرة (متفق عليه)
Dari Ummu Salamah ra (mengabarkan) bahwa Nabi saw melihat di rumahnya (Ummu Salamah) ada seorang  wanita yang diwajahnya ada saf’ah (cekungan hitam di sekitar matanya) maka beliau bersabda : Lakukanlah Ruqyah untuknya (wanita itu) karena dia ada terkena gangguan (nazhoroh/’ain) – HR. Muttafaqun ‘alaih.
3.          عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : كان صلى لله عليه و سلَم يتعوّذ من الجان و عين الإنسان حتى نزلت المعوّذتان، فأخذ بهما و ترك ما سواهما (رواه الترمذي)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra berkata : Bahwa RasuluLLah saw senantiasa minta perlindungan dari gannguan jin dan ‘Ain hingga akhirnya turun dua surat perlindungan (Al Falaq dan An Naas), maka sejak itu dipakailah keduanya dan dia tinggalkan yang lainnya (HR. At Tirmidzi)
4.          عن جابر رضي الله عنه قال نهي رسول الله صلى لله عليه و سلَم عن الرُّقي  فجاء آل عمرو بن حزم، فقالوا : يا رسول الله إنّه كانت عندنا رقية نرقى بها من العقرب، قال : فعرضوا عليه، فقال : ما أرى بـأساً، من استطاع أن ينفع أخاه فلينفعه (رواه مسلم)
Dari Jabir ra berkata : RasuluLlah saw telah melarang Ruqyah. Maka datanglah keluarga ‘Amru bin Hazm, mereka berkata : Yaa RosulaLLah bahwa kami memiliki Ruqyah (mantera) yang biasa kami lakukan jika terkena gangguan kalajengking. Maka mereka menunjukkankan (Ruqyah itu) kepada RasuluLLah saw. Lalu beliau bersabda : saya memandang tidak apa-apa ruqyah kalian itu. Barangsiapa yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya, maka lakukanlah. (HR. Muslim)
5.          عَنْ عَوْفٍ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قـال : كُنَّا نَرْقِي فِى الْجَـاهِلِيَّةِ، فَقُلْنـَا يـَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى بِذلِكَ ؟  فَقَالَ : أَعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَـأْسَ بِالرُّقَى مَالَمْ يَكُنْ شِرْكـاً (رواه مسلم)
Dari sahabat ‘Auf bin Malik ra dia berkata : Kami dahulu meruqyah di masa Jahiliyyah, maka kami bertanya : “Ya RosuluLLah, bagaimana menurut pendapatmu ?” Beliau menjawab : “Tunjukkan padaku Ruqyah (mantera) kalian itu. Tidak mengapa mantera itu selama tidak mengandung kesyirikan” (HR. Muslim).
6.          عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت : كان إذا اشتكى رسول الله صلى لله عليه و سلَم، رقاه جبريل عليه السلام، قال : بِسْمِ اللهِ يُبْرِيْكَ مِنْ كُلِّ دآءٍ يَشْفِيْكَ، وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذاَ حَسَدٍ وَ شَرِّ كُلِّ ذِيْ عَيْنٍ      (رواه مسلم)
“Dari  A’isyah ra dia berkata : Bahwa jika RasuluLLah saw ada keluhan (sakit/gangguan) maka malaikat Jibril meruqyah beliau saw dengan kalimat :  Dengan nama ALLAH – Dia membebaskanmu dari segala gangguan penyakit Dia menyembuhkanmu dan dari kejahatan para penghasud ketika hasadnya dan dari kejahatan setiap gangguan mata” (HR. Muslim)
7.          عن عائشة رضي الله عنها : أن رسول الله  صلى لله عليه و سلَم  دخل عليها امرأة تعالجها أو ترقيها فقال : عالجيها بكتاب الله  (رواه ابن حبـان)
8.          وعَنْ أَبِي خُزَامَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ رُقًى نَسْتَرْقِيهَا وَدَوَاءً نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةً نَتَّقِيهَا هَلْ تَرُدُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ شَيْئًا قَالَ هِيَ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ. (حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ  رواه الترمذي)
Dari  Abu Khuzamah ra dari bapaknya dia berkata : Aku bertanya kepada RasuluLLah saw telah : Ya RosulaLLah bagaimana pandangan engkau terhadap Ruqyah-ruqyah yang kami melakukan peruqyahan dengannya dan obat-obatan yang kami melakukan pengobatan dengannya dan perlindungan-perlindungan yang kami melakukan dengannya, apakah itu semua bisa menolak takdir ALLAH ? Jawab beliau saw : Semua itu adalah (juga) takdir ALLAH. (HR. At Tirmidzi, hasan-shohih)
9.          والحديث الذي رواه أحمد عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم  فَسَمِعَ صَوْتَ صَبِيٍّ يَبْكِي فَقَالَ مَا لِصَبِيِّكُمْ هَذَا يَبْكِي فَهَلا اسْتَرْقَيْتُمْ لَهُ مِنَ الْعَيْنِ. وفي رواية مالك في موطئه عن عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  دَخَلَ بَيْتَ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم  وَفِي الْبَيْتِ صَبِيٌّ يَبْكِي فَذَكَرُوا لَهُ أَنَّ بِهِ الْعَيْنَ قَالَ عُرْوَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  أَلا تَسْتَرْقُونَ لَهُ مِنَ الْعَيْنِ ؟
Dengan memahami bahwa sebelum masa diutusnya RasuluLLah saw, sebagian sahabat dahulu pada masa Jahiliyah sudah melakukan Ruqyah, Tamimah, Kay, Tathoyyur, Tiwalah, Nusyroh dsb, maka yang dimaksud pelarangan Ruqyah itu adalah pelarangan terhadap Ruqyah Jahiliyyah yang mengandung kesyirikan sebagaimana kebiasaan lainnya yang terlarang itu dan yang dilarang itu bukanlah Ruqyah Syar’iyyah -- yang RosuluLLah saw sendiri pernah diruqyah dan meruqyah dengan Ruqyah tersebut, dan Ruqyah itu diajarkan kepada isteri-isteri beliau dan para sahabat lainnya, bahkan sahabat-sahabatnya yang dahulu pernah meruqyah (jahiliyyah/syirkiyyah) tetap didorong untuk terus melakukan kemampuan meruqyah tersebut dengan dibenahi cara meruqyah sesuai kaidah-kaidah syar’iyyah.
يقول الشيخ عبد العزيز بن باز بأن الاسترقاء لمن احتاج له لا يخرج المسلم من اللحاق بالسبعين ألفا حيث أنه مـحتاج للرقية ، ويرى حفظه الله تعالى استحباب العلاج من المرض.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berpendapat bahwa memintakan Ruqyah bagi yang membutuhkannya tidak menyebabkan seorang muslim tidak memperoleh (kesempatan) termasuk 70 ribu orang (yang dijamin masuk surga tanpa hisab) beliaupun – hafizhohuLLah – berpandangan bahwa “disukai” melakukan pengobatan dari derita penyakit.
Sebagai tambahan, berikut ini beberapa penjelasan dari beberapa sumber :
وفي كتاب  فتح القدير عند شرح المؤلف لحديث من اكتوى أو استرقى فقد  برء مـن التوكل ، لفعله ما يسن التنـزه عنه من الاكتواء لخطره والاسترقاء  بما لا يعرف من كتاب الله لاحتمال كونه شركا أو هذا فيمن فعل معتمداً عليها لا على الله فصار بذلك بريئاً من التوكل ، فإن فقد ذلك لم يكن بريئاً منه ، وقد سبق أن الكي لا يترك مطلقاً ولا يستعمل مطلقاً بل عند تعينه طريقاً للشقاء وعدم قيام غيره مقامه مع مصاحبة اعتقاد أن الشفاء بإذن اللّه تعالى والتوكل عليه ، وقال ابن قتيبة: الكي نوعان كي الصحيح لئلا يعتل فهذا الذي قيل فيه من اكتوى لم يتوكل لأنه يريد أن يدفع القدر والقدر لا يدافع. والثاني كي الجرح إذا فسد والعضو إذا قطع فهو الذي شرع التداوي فيه فإن كان لأمر محتمل فخلاف الأولى لما فيه من تعجيل التعذيب بالنار لأمر غير محقق.
وقيل المراد بترك الرقى والكي الاعتماد على الله في دفع الداء والرضا بقدره ، لا القدح في جواز ذلك لثبوت وقوعه في الأحاديث الصحيحة وعن السلف الصالح ، لكن مقام الرضا والتسليم أعلى من تعاطي الأسباب ، يقول الحافظ في تعليقه على الحديث نقلا عن القرطبي : إن الرقى بأسماء الله تعالى تقتضي التوكل عليه والالتجاء إليه والرغبة فيما عنده والتبرك بأسمائه ، فلو كان ذلك قادحاً في التوكل لقدح الدعاء ، إذ لا فرق بين الذكر والدعاء ، وقد رُقي النبي صلى الله عليه وسلم ورَقى وفعله السلف والخلف ، فلو كان مانعا من اللحاق بالسبعين أو قادحا في التوكل لم يقع من هؤلاء وفيهم من هو أعلم وأفضل ممن عداهم .ا.هـ.
Ø  Kaidah-kaidah Ruqyah Syar’iyyah :
قال إبن حجر رحمه الله نقلاً عن الإمام النواوي رحمه الله تعالى : أجمع العلمآء على جواز الرقى عند اجتماع ثلاثة شروط :
  1. أن تكون بكلام الله أو بأسمآئه و صفاته (والأدعية النبويّة).
  2. أن تكون باللسان العربي، أو يعرف معناه من غيره.
  3. أن يعتقد أن الرقية لا تؤثر بذاتها بل بذات الله تعالى.
Ibn Hajar mengutip pendapat Imam Nawawi rahimahuLLah : “Ijma’ Ulama sepakat bahwa boleh melakukan Ruqyah dengan memenuhi 3 syarat” :
1.     Hendaklah dilakukan dengan kalamuLLah atau Asama dan SifatNya.
2.     Hendaklah dengan bahasa arab atau bahasa lain yang dimengerti (yang tidak mengandung kesyirikan).
3.  Berkeyakinan bahwa bukanlah pelaksanaan ruqyah itu semata-mata yang memberi pengaruh tetapi ALLAH swt yang memberikannya.

Akhlaq dalam Ruqyah Da’awiyyah :
1.     AKHLAQ DASAR 5 : 54 – 56
a.  Meraih kecintaan dari ALLAH swt
b.  Rendah hati sesama mu’min
c.  Tegas/keras kepada orang yang ingkar
d.  Berjuang di jalan ALLAH swt
e.  Tidak takut celaan pihak yang suka mencela
2.     OPERASIONAL    8 : 45 - 47.
a.  Teguh pendirian
b.  Banyak mengingat ALLAH
c.  Ta’at kepada ALLAH & RasulNya
d.  Tidak berselisih dan senantiasa Sabar dalam ikatan keberjama’ahan
e.  Tidak sombong/angkuh, tidak Riya’